PULANG PISAU – Usaha perkebunan karet kini kian melesu, dan harganya pun kian merosot, namun tidak sedikit masyarakat khususnya di Wilayah Kabupaten Pulang Pisau harus tetap menekuni usaha itu, karena tidak memiliki pekerjaan lain sebagai penyambung hidup. Tidak sedikit juga, khususnya para pengepul karet yang akhirnya gulung tikar atau bangkrut, karena gejolak harga yang tidak stabil.
Kegalauan para pengepul karet ini, disampaikan oleh Agus Martejo (6O) pria paruh baya, warga Desa Jabiren yang masih tetap menekuni usaha karet, dan posisinya sebagai pembeli karet atau biasa disebut pengepul karet jenis LOMB. Ia terpaksa bertahan menekuni usaha itu meski harga karet sekarang ini masih dibawah standar yakni lebih kurang Rp 7000 per kilo gram.
Agus mengatakan, usaha karet lokal sejak 4 tahun terakhir ini kian tidak membaik, dan membuat para petani karet banyak yang mengeluh, dan tidak bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari.” Karena itu, banyak petani karet yang mencari usaha lain, seperti mendulang emas dan ikut perusahaan sawit yang lebih menjanjikan dari pada menyadap karet,” ujar Martejo, Sabtu (30/03/2019).
Bangkrutnya usaha para pembeli karet ini, dikarenakan ketidakstabilan harga dalam tiap minggu, dan selalu mengalami penurunan. ” Para pembeli karet ini terus merugi, dan akhirnya banyak yang bangkrut,” beber Martejo menjelaskan.
Cukup banyak rekan-rekan para pengepul yang gulung tikar, namun ia mengaku bersyukur karena masih bisa bertahan sebagai pembeli dan mengumpulkan hasil sadapan karet warga.
Selama 5 tahun lalu, ia menceritakan, sewaktu harga karet masih di kisaran 15 ribu rupiah sampai 20 ribu rupiah per kilonya, rata-rata masyarakat Kecamatan Jabiren Raya hampir 85 persen menyadap karet.
” Masyarakat waktu itu sangat semangat pak menyadap karet dan sekarang dalam 1 bulan bisa mengumpulkan karet cuma 1 truk saja, kira-kira 7 ton. Kalau dulu waktu ramainya bisa sampai 4 – 5 truk ” beber Martejo.
Karet-karet yang ia kumpulkan itu, sebelumnya di jual ke Banjarmasin untuk pemasaran, dan sekarang ia langsung menjual ke Pabrik Karet yang berada di Desa Garong Kahayan Berseri mengingat jarak tempuhnya dekat dan ongkosnya pun menurutnya lebih ringan dari pada ke Banjarmasin, ” Untuk harga yang saya jual ke pabrik sekarang tidak jauh beda dengan sebelumnya,” katanya.
Sementara Dempau (50) petani karet setempat mengatakan, semenjak kecil ia menekuni pekerjaan menyadap karet, hal itu dilakukan karena tidak ada keahlian lain untuk menenuhi kebutuhan sehari-hari.
Dempau hanya mengandalkan menyadap karet saja sebagai mata pencaharian, yang sekarang hasilnya sudah tidak seberapa, karena ia menyadap karet milik orang lain sehingga hasil harus dibagi dua. “harapan kami kepada pemerintah ada solosi untuk menaikan harga getah maupun harga sawit, agar masyarakat lebih sejahtera ” ujarnya. (RP/02)