Komnas Perempuan Minta Polri Untuk Proses Hukum Pelaku KDRT

oleh
Gambar Ilustrasi

Jakarta, Borneo24.com Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan meminta Polri mengutamakan penegakan hukum dalam menangani kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani mengatakan, harus ada standar norma untuk kasus-kasus KDRT yang dapat diselesaikan secara restorative justice.

“Meminta Polri mengutamakan penegakan hukum dan membangun standar norma untuk kasus yang dapat diselesaikan secara restorative justice dalam penyelesaian kasus KDRT,” kata Andy dalam keterangan persnya, Selasa (28/9/2021). Dilansir dari kompas.com

Hal ini disebabkan, salah satu masalah dalam penyelesaian KDRT adalah, ketika kasus dilaporkan ke polisi, kemudian dicabut dengan menggunakan mekanisme restorative justice dan memilih perceraian.

“Ini menjadikan korban tidak pulih dan pelaku tidak mempertanggungjawabkan perbuatannya,” ujar Andy.

Selain itu, lanjut Andy, Komnas meminta Polri meningkatan proses penanganan berkoordinasi dengan lembaga-lembaga layanan korban KDRT dan menguatkan kapasitas penyelidik tentang KDRT sebagai kekerasan berbasis gender.

Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi mengungkapkan, selama 17 tahun, yaitu sepanjang 2004-2021 ada 544.452 kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) atau ranah personal.

Siti mengatakan, kasus-kasus yang tercatat itu meliputi kekerasan terhadap istri (KTI), kekerasan terhadap anak perempuan (KTAP) khususnya inses, kekerasan terhadap pekerja rumah tangga (PRT),

kekerasan dalam pacaran (KDP), kekerasan relasi personal lainnya, kekerasan mantan pacar (KMP), dan kekerasan mantan suami (KMP). Sementara itu, secara khusus selama lima tahun terakhir, terdapat 36.367 kasus KDRT dan 10.669 kasus ranah personal.

Siti menyatakan, dari jenis-jenis KDRT, kekerasan terhadap istri selalu menempati urutan pertama dari keseluruhan kasus KDRT/RP dan selalu berada di atas angka 70 persen.

“Sedangkan yang paling minim dilaporkan adalah kekerasan terhadap PRT. Hal ini juga tidak dapat lepas dari penyempitan makna bahwa KDRT adalah kekerasan terhadap istri,” kata dia.

Menurut Siti, KDRT menimbulkan ketakutan, penderitaan berat, hingga gangguan psikososial pada korban.

Selain itu, korban juga bisa menjadi disabilitas, memiliki keinginan bunuh diri, trauma berkepanjangan, dan hilangnya rasa percaya diri.

Karena itu, lanjut dia, korban membutuhkan pemulihan komprehensif sebagaimana telah diatur dalam UU Penghapusan KDRT Nomor 23 Tahun 2004.

Siti berpendapat, meski ada sejumlah kemajuan yang dibawa UU Penghapusan KDRT, tetapi pelaksanaan UU ity sendiri masih menemui sejumlah hambatan yang memastikan korban mendapatkan keadilan dan pemulihan.

“Hambatan itu, antara lain, tingginya korban yang mencabut laporan/pengaduan serta penafsiran terhadap Pasal 2 tentang ruang lingkup rumah tangga dalam UU PKDRT, khususnya perkawinan tidak tercatat,” ujar Siti.

Selain itu, aparat penegak hukum belum memiliki perspektif korban dan hak asasi perempuan dan belum maksimalnya.

Penjatuhan pidana tambahan pembatasan gerak pelaku, pembatasan hak-hak tertentu dan mengikuti program konseling.

Bertalian dengan itu, Komnas Perempuan juga meminta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Membangun skema nasional aksi penghapusan KDRT di Indonesia.

Kemudian, meminta Kementerian PPPA menguatkan koordinasi dengan aparat penegak hukum, Komnas Perempuan, serta instansi terkait.

Berikutnya, meminta Mahkamah Agung menerapkan Perma Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum dalam memeriksa kasus-kasus perceraian dengan alasan-alasan KDRT. (***)

No More Posts Available.

No more pages to load.