Kalimantan Barat, Borneo24.com – Bencana alam yang terjadi di Kalimantan Selatan menjadi yang terparah dalam sejarah 50 tahun bencana yang pernah terjadi di Kalimantan Selatan, warga Meratus khususnya Suku Dayak Meratus diklaim sebagai yang paling merasakan dampak dari banjir dan tanah longsor awal tahun 2021. Ilmuwan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menilai pemerintah daerah gagap, bukan cuma kala mempertahankan ekosistem penyangga banjir, tapi juga saat menyiasati anomali cuaca akibat perubahan iklim.
Dini hari, sekitar pukul empat pagi, tanggal 15 Januari 2021, warga Dayak Meratus di Desa Patikalain, Kecamatan Hantakan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, kocar-kacir meninggalkan rumah mereka. Banjir bandang menerjang kampung itu seiring hujan deras yang turun terus-menerus. Arus deras air juga memicu tanah longsor di desa itu.
Saat proses evakuasi dilakukan secara swadaya di desa itu, lima orang dinyatakan meninggal karena rumah mereka tertimbun longsor. Mereka berasal dari satu keluarga yang sama. “Jika keluarganya tidak cepat-cepat melarikan diri dari rumah, dini hari itu, jumlah korban meninggal mungkin akan lebih banyak,” kata Julius, warga Dayak Meratus.
Menurut catatan Robby, pengurus Aliansi Masyarakat Adat Nusantara di Hulu Sungai Tengah, terakhir kali banjir bandang melanda kawasan Dayat Meratus terjadi tahun 2017. Ketika itu, kata Robby, Sungai Labuan Amas meluap. Namun dampak banjir itu tidak sebesar yang terjadi pertengahan Januari ini.
Robby berkata, komunitas Dayak Meratus berada dalam posisi yang sangat rentan jika dilanda bencana alam. Walau memiliki tradisi gotong-royong dan persediaan kebutuhan dasar di hutan, Robby menyebut warga adat tetap membutuhkan layanan pemerintah. “Mereka yang rumahnya hilang bisa menumpang rumah keluarga. Ada juga yang membangun tenda di sekitar hutan,” ujar Robby.
Dalam data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), delapan wilayah yang disebut Hefni tadi termasuk yang terendam banjir Januari ini. Berkurangnya tutupan hutan di Kalimantan dikuatkan kajian yang dilakukan peneliti Pusat Riset Kehutanan Internasional (CIFOR) pada 2017 dengan menggunakan data citra satelit Landsat antara 1973-2015. Kajian itu menyebutkan tutupan hutan di Kalimantan jauh berkurang akibat deforestasi.
Mereka membantah berkurangnya tutupan hutan berdampak pada masifnya banjir yang terjadi. “Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito Kalsel seluas 1,8 juta hektare hanya merupakan bagian dari DAS Barito Kalsel seluas 6,2 juta hektare,” begitu pernyataan KLHK. “DAS Barito Kalsel secara kewilayahan hanya mencakup 39,3 kawasan hutan dan 60,7% area penggunaan lain bukan hutan. “Sangat jelas bahwa banjir pada DAS Barito Kalsel, yaitu pada Daerah Tampung Air (DTA0 Riam Kiwa, Kurau, dan Barabai terjadi karena curah hujan ekstrem dan sangat mungkin karena recurrent periode 50-100 tahun)”. tulis KLHK.
“Memang betul, merujuk data hujan di Stasiun Klimatologi Banjarbaru dan Stasiun Meteorologi Syamsudin Noor, curah hujan di Kalsel memang sangat tinggi dan bisa dikatakan ekstrem. “Lima hari sebelum banjir bandang, di sana sudah hujan. Artinya tanah sudah jenuh air,” kata Fakhrudin.
“Pemicu terbesar banjir ini curah hujan. La Nina sekarang terjadi Januari dan Februari, itu sudah diinformasikan BMKG. Artinya semua pemangku kepentingan semestinya sudah siap,” ujarnya.
“Kami akan mendata masyarakat yang tinggal di pinggir sungai. Pemerintah pusat katanya akan membantu korban yang rumahnya rusak berat dan rusak ringan,” kata Sekretaris Daerah Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Farid Fakhmansyah. “Kami akan usahakan agar mereka tidak lagi berada di pinggir sungai,” tambah Fakhrudin.
Menurut riset riset Perkumpulan Skala–lembaga nirlaba di bidang perubahan iklim, bencana alam, dan kearifan lokal-relokasi masyarakat adat kerap terhambat karena minimnya pengakuan pemerintah terhadap hak ulayat mereka. Dalam konteks Dayak Meratus, bukan cuma hak tenurial, status mereka sebagai masyarakat adat pun belum disahkan oleh pemerintah setempat. (***)
Discussion about this post