Riau, Borneo24.com – Untuk mengakselerasi penerapan UU Cipta Kerja, serta menindak lanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU/U-XVIII/2020, guna mewujudkan partisipasi masyarakat yang lebih bermakna (meaningful participation).
Satgas Percepat Sosialisasi UU Cipta Kerja menyelenggarakan Forum Grup Discussion (FGD) dengan sejumlah stakeholders dalam rangka penyempurnaan dan monitoring implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU CK) beserta aturan turunannya
Dalam kegiatan FGD yang digelar di Hotel Best Western Premier Panbil, Batam, Kepulauan Riau pada, Satgas Percepatan Sosialisasi UU CK mengajak sejumlah stakeholders, utamanya dari kalangan buruh dan pekerja untuk turut memberikan saran dan masukan yang bermanfaat demi perbaikan aturan UU CK, khususnya pada klaster ketenagakerjaan.
Saat membuka forum, Sekretaris Satgas Percepatan Sosialisasi UU CK, Arif Budimanta yang hadir secara daring mengatakan bahwa kegiatan ini merupakan upaya untuk membangun kerja sama antara pemerintah pusat dan daerah serta seluruh stakeholders untuk dapat mendengarkan pemikiran-pemikiran yang berkembang terkait UU Cipta Kerja dari para perwakilan pekerja yang hadir.
“Di forum ini, kita harapkan bisa bertukar informasi, bertukar pikiran, kalau memang ada problematika silakan disampaikan. Kami terbuka dengan berbagai kontribusi pemikiran, kritik dan alternatif solusi dalam forum ini demi perbaikan implementasi UU CK,” kata Arif
Kepala Badan Keahlian DPR RI, Inosentius Samsul memaparkan sesuai amar Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan secara formil bahwa UU CK inkonstitusional, maka Pemerintah dan DPR harus melakukan langkah perbaikan.
Hal ini telah dimulai dengan merevisi terhadap UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP) yang telah diubah menjadi UU Nomor 13 Tahun 2022 sebagaimana diamanatkan dalam pertimbangan Hakim MK pada Putusan MK.
Lebih lanjut, Inosentius menjelaskan bahwa, MK memberikan waktu dua tahun kepada Pemerintah untuk memperbaiki UU CK ini agar tidak bertentangan dengan UUD 1945.
“Setelah metode omnibus diadopsi dalam revisi UU PPP, kemudian yang harus dilakukan ialah mendengarkan masukan masyarakat dan mendorong masyarakat untuk memberikan masukan kepada pemerintah dan DPR,” lanjutnya.
Inosentius mengatakan bahwa dalam Putusan MK ada hal yang penting yang perlu digarisbawahi, yakni berkaitan dengan meaningful participation.
Artinya, dalam pembentukan peraturan perundang-undangan perlu melibatkan masyarakat.
Hal ini berlaku kepada semua pembentukan peraturan perundang-undangan hingga ke level daerah.
“Dalam proses membahas itu Pemerintah dan DPR perlu mendengarkan masukan dari berbagai pihak. Baik masukan yg bersifat pro maupun kontra. Karena ada mekanisme demokrasi dalam menentukan kebijakan,” tutur Inosentius.
Senada, Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Koordinasi Data dan Informasi Satgas UUCK, I Ktut Hadi Priatna mengatakan pemerintah membuka pintu yang lebar dalam melakukan konsultasi publik untuk memperbaiki UU CK yang diharapkan menjadi sebuah tonggak reformasi dan terobosan yang akan bermanfaat bagi anak cucu kita ke depannya.
Ia menambahkan bahwa UU CK ini hadir untuk melakukan perubahan aturan-aturan yang tumpang tindih, terutama yang menjadi penghambat pertumbuhan sektor ekonomi, baik secara nasional, maupun di Batam yang menjadi pintu Indonesia dengan negara tetangga seperti Singapura, Malaysia dan Thailand.
“Tentunya kami dengan senang hati mendengar masukan Bapak dan Ibu yang hadir di sini, sebagaimana arahan Bapak Presiden yang mengamanatkan untuk selalu mendengarkan masukan dari publik,” kata Ktut.
Sementara itu, Kabag Hukum dan Kerja Sama Luar Negeri Kementerian Ketenagakerjaan, Agatha Widianawati menerangkan dalam UU CK klaster ketenagakerjaan ada beberapa aspek yang diatur dan menjadi target Pemerintah dan DPR.
Di antaranya mengenai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), alih daya, pengupahan, dan PHK. Selain itu, dibahas juga waktu kerja dan waktu istirahat, tenaga kerja asing dan jaminan sosial.
“Teman-teman serikat pekerja, dalam UU CK ini ruang dialog tidak diubah. Ruang ini dibangun untuk teman-teman pekerja dapat berdialog dengan pengusaha atau perusahaan dan organisasi pekerja,” sambung Agatha.
Sekitar 50 orang turut hadir dalam diskusi tersebut di antaranya perwakilan dari Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Kota Batam, Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Kota Batam, Gerakan Ekonomi Kreatif Kota Batam, Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Kota Batam, GKDO (Gabungan Komunitas Driver Online) Batam, Dewan Pengupahan Provinsi Kepulauan Riau, serta kalangan akademisi dari Universitas Batam dan Universitas Batam dan Universitas Internasional Batam.
Salah satu masukan yang muncul adalah dorongan kepada Pemerintah agar memasukkan klausul tentang pekerja yang bergerak di bidang transportasi daring sebagai driver ojek online (ojol) dalam kerangka UU CK.
Hal ini disampaikan oleh Agusril, selaku Ketua Gabungan Komite Driver Online Kota Batam.
Kegiatan berjalan dengan interaktif, hal ini terlihat dari banyaknya aspirasi yang disampaikan oleh peserta FGD kepada para narasumber mengenai klaster ketenagakerjaan dalam UU CK. (***)